
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DAN MORAL
Disusun guna memenuhi tugas mata
kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen pengampu :Wulan
Adiarti
Oleh :
Leanvin
Didik Widaryoko ( 3101412103 )
Lailatul Fatkhiyyah ( 3101412104 )
Heru Widianto ( 5201412001 )
Cahyo Wardoyo
( 5201412016 )
Rombel : 38
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
Rabb semesta alam atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Perkembangan Psikososial dan Moral” tepat pada waktunya.
Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Rosul Allah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari
kegelapan kepada cahaya Rabbi, semoga tercurahkan juga kepada keluarga Beliau,
sahabat dan semoga safa’at dapat kita terima di akhirat kelak. Amin.
Penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada Wulan
Adiarti
dan teman-teman satu team yang telah mendukung penyelesaian makalah sebagai
tugas kuliah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyajian ini jauh dari
tingkat kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan makalah ini.
Mudah-mudahan bantuan dan dukungan yang diberikan
semua pihak dapat menjadi amal jariyah
yang bermanfaat.
Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang ada
pada penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Semarang, 10 September 2013
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
PRAKATA ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 5
1.3 Tujuan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan
Personal dan Moral...................................................... 6
2.2
Faktor-faktor
yang Mempempengaruhi Perkembangan Sosial.......... 9
2.3
Perkembangan
Perasaan dan Emosi................................................... 10
2.4 Perkembangan Moral............................................................................ 12
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan............................................................................................. 16
3.2 Saran................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Generasi masa kini cenderung banyak mengalami problem emosional dibanding generasi
sebelumnya. Sering merasa kesepian dan pemurung, sifat arogansi yang berlebih
dan kurang menghargai sopan santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif
dan agresif. Kesemuanya itu menuntut tindakan penanggulangan dengan segera dari
berbagai pihak. Termasuk diantaranya lembaga pendidikan/ sekolah. Di sekolah
diharapkan murid-murid dijelaskan tentang bagaimana mempersiapkan anak didik
dalam menempuh kehidupan dan apa yang dapat dilakukan sekolah-sekolah untuk
mendidik muridnya, yaitu mulai dari mengajarkan kepandaian dan kepekaan
emosional, jugamengajarkan tentang keselarasan antara emosional dan cara mengekspresikannya.
Semua problem emosional (kesepian, murung, dan seterusnya) ini boleh saja
dimiliki, tetapi reaksi terhadap perasaan itu ada yang diperbolehkan, ada juga
yang tidak diperbolehkan. Emosi menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan
tugas-tugas yang terlampau riskan bila diserahkan kepada otak anak. Untuk itu
perlu diberikan suatu pembelajaran tentang emosional, agar anak didik dapat
mengendalikan emosi mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka makalah ini kami beri
judul “PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DAN MORAL”.
1.2 Rumusan Masalah
(1)
Apa yang dimaksud dengan perkembangan personal dan
sosial ?
(2)
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
sosial ?
(3)
Bagaimana perkembangan dan emosi ?
(4)
Bagaimana perbedaan individual
dalam perkembangan emosi ?
1.3 Tujuan
(1) Menjelaskan maksud
perkembangan personal dan sosial.
(2) Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial.
(3)
Menjelaskan perkembangan dan emosi.
(4)
Menjelaskan perbedaan individual
dalam perkembangan emosi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perkembangan
Personal dan Sosial
Pada waktu anak
mengembangkan kecakapan kognitifnya, mereka juga mengembangkan konsep diri,
cara berinteraksi dengan orang lain, dan sikap terhadap dunia. Pemahaman
perkembangan personal dan sosial ini sangat penting bagi guru, karena dapat
digunakan untuk dasar pemberian motivasi belajar, mengajar dan berinteraksi
dengan peserta didik.
Banyak ahli yang
mengembangkan teori tentang perkembangan personal dan sosial, salah satunya
yaitu Erik Erikson. Teori Erikson mengemukakan delapan tahap perkembangan
manusia yang akan dilalui sepanjang rentang hidupnya. Masing-masing tahap
mempunyai sisi positif dan sisi negatif. Delapan tahap tersebut adalah :
1.
Kepercayaan
versus ketidakpercayaan ( 0 - 1 tahun )
Tahap pertama
psiko-sosial menurut Erikson. Perkembangan kepercayaan membutuhkan pengasuhan
yang hangat dan bersahabat. Hasil positifnya adalah rasa nyaman dan
berkurangnya ketakutan sampai titik minimal. Ketidakpercayaan tumbuh ketika
bayi diperlakukan terlalu negatif atau diabaikan.
2.
Otonomi
versus malu dan ragu ( 1 – 2 tahun )
Tahap ini
terjadi pada masa bayi akhir, dan masa belajar berjalan. Setelah bayi
mempercayai pengasuhnya, sang bayi mulai menemukan bahwa tindakannya adalah
tindakannya sendiri. Jika bayi dibatasi terlalu banyak atau di hukum keras,
mereka akan mengembangkan rasa malu dan ragu.
3.
Inisiatif
versus rasa bersalah ( 3-5 tahun )
Tahap yang ketiga berhubungan dengan masa
kanak-kanak awal. Saat anak mulai merasakan dunia sosialnya mulai meluas,
mereka merasa mendapat tantangan yang lebih banyak dari pada sewaktu bayi.
Orang tua berharap anak lebih bertanggung jawab dan menyuruh anak mengemban
tanggung jawab untuk menjaga tubuh dan milik merka. Memunculkan tanggung jawab
membutuhkan inisiatif. Anak merasa bersalah ketika dia tidak bertanggung jawab
atau merasa cemas.
4.
Upaya
versus inferioritas ( 6-11 tahun )
Dialami oleh
anak pada usia sekolah dasar (6-11 tahun). Inisiatif berhubungan dengan banyak
pengalaman baru. Masa kanak-kanak akhir menjadikan anak semangat untuk belajar,
saat imajinasi mereka berkembang. Bahayanya muncul rasa rendah diri
(inferioritas), ketidak produktivan dan inkompetensi.
5.
Identitas
versus kebingungan ( 11-20 tahun )
Merupakan tahap
yang kelima, terjadi pada masa remaja. Remaja berusaha untuk mencari tahu jati
dirinya, dan kemana mereka akan menuju. Remaja perlu diberi kesempatan untuk
melakukan eksploitasi berbagai cara untuk mengetahui identitasnya, saat mereka
tidak mempunyai kesempatan eksploitasi, mereka mengalami kebingungan tentang
identitas dirinya.
6.
Intimasi
versus isolasi ( 20-30 tahun )
Tahap ini
terjadi pada masa dewasa awal, yaitu membentuk hubungan yang positif dengan
orang lain. Bahaya yang mungkin muncul, saat mengalammi kegagalan dalam tugas
perkembangan ini akan terisolasi secara sosial.
7.
Generativitas
versus stagnasi ( 40-50 tahun )
Tahap yang
ketujuh ini dialami pada masa dewasa pertengahan. Generativitas berarti
mentransmisikan sesuatu yang positif kepada generasi selanjutnya. Deskripsi
stagnasi sebagai perasaan tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu generasi
muda.
8.
Integritas
versus putus asa ( 60 keatas )
Tahap ini
berhubungan dengan masa dewasa akhir. Orang tua merenuni kembali hidupnya,
memikirkan hal-hal yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi masa lalunya
positif, mereka akan mengemban rasa integritas, yaitu memandang hidup mereka
yang utuh dan positif dan layak dijalani. Sebaliknya individu akan putus asa
ketika renungannya negatif.[1]
Sejak individu lahir ke muka bumi, dia telah mulai
belajar tentang keadaan lingkungan sosialnya. Individu itu kemudian menyadari
bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat dan dituntut untuk berprilaku
sesuai dengan tuntutan masyarakat. Proses tersebut biasa disebut dengan
sosialisasi.[2]
Lebih lanjut dibahas tentang karakteristik
perkembangan sosial pada remaja, perkembangan sosial ini lebih diwarnai dengan
dua aktivitas yang kontradiktif, yaitu otonomi dan keterikatan.
1.
Otonomi
Definisi otonomi bagi remaja yaitu mengatur diri
sendiri dan mencapai kebebasan. Remaja pada tahapan ini, mengalami proses
pencarian otonomi dan tanggung jawab. Terkait dengan kebutuhan remaja untuk
mendapatkan otonomi, orang tua yang bijak akan memberikan kesempatan tatkala
remaja mampu membuat keputusan yang pantas dan memberikan pendampingan tatkala
remaja masih memiliki pengetahuan yang terbatas. Dengan demikian remaja secara
bertahap memperoleh kemampuan untuk membuat keputusan yang dewasa sendiri.
2.
Keterikatan
Keterikatan pada remaja
dipandang sebagai keterhubungan pada orang tua dalam perkembangan remaja. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mempunyai keterikatan yang baik dengan
orang tua ketika masih kecil, akan berdampak pada bentuk keterikatan hubungan
yang lebih aman dengan teman, atau orang lain, dibandingkan dengan remaja yang
tidak mempunyai keterikatan dengan aman ketika masih kecil.
Sejalan dengan
perkembangan remaja untuk menuju dewasa, remaja melepaskan diri dari orang tua
dan memasuki otonomi. Model ini akan menuai konflik antara remaja dengan orang
tua sepanjang masa remaja. Namun apabila orang tua pada kondisi ini berperan
sebagai figur keterikatan, sumber daya dan sistem pendukung, maka konflik
diantara mereka ringan. Sehingga remaja akan terbantu fungsi perkembangan yang
positif.[3]
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak,
pada prinsipnya dipengaruhi tiga faktor, yaitu :
a. Keluarga
Cara
pendidikan anak yang digunakan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku anak, terutama pada awal-awal kehidupan. Anak-anak yang dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang demokratis, barangkali akan melakukan
penyesuaian yang baik, mereka aktif secara sosial dan mudah bergaul.
Sebaliknya, mereka yang dimanjakan cenderung menjadi tidak aktif dan
menyendiri. Anak-anak yang didik secara otoriter, cenderung menjadi pendiam dan
tidak suka melawan, keingintahuandan kreatifitas mereka terlambat oleh tekanan
orang tua.
b. Sekolah
Ketika
anak-anak memasuki sekolah, guru mulai memasukkan pengaruh terhadap sosialisasi
mereka, meskipun pengaruh teman sebaya biasanya lebih kuat dibandingakan dengan
pengaruh guru dan orang tua.
Pengaruh
yang kuat dari kelompok teman sebaya pada masa kanak-kanak akhir sampai dengan
anak menginjak usia remaja, sebagian berasal dari keinginan anak untuk dapat
diterima oleh kelompok, dan sebagian lagi dari kenyataan bahwa anak menggunakan
waktu lebih banyak dengan teman sebayanya.
c. Masyarakat
Sejak
anak mulai sekolah, anak memasuki usia geng, yaitu usia yang pada saat itu
kesadaran sosial berkembang pesat. Pengaruh gang disamping anak-anak menjadi
pribadi yang mampu bermasyarakat, sebaliknya kehidupan gang menompang
perkembangan kualitas perilaku sosial tertentu yang tidak baik, seperti
sombong, kenakalan, dan sebagainya yang kadang-kadang meresahkan orang tua,
guru dan masyarakat.
Penerimaan
dan penghargaan secara baik masyarakat terhadap diri anak, lebih-lebih terhadap
peserta didik, mendasari adanya perkembangan sosial yang sehat, citra diri yang
positif dan juga rasa percaya diri yang mantap.
2.3
Perkembangan
Perasaan dan Emosi
Perasaan dan emosi merupakan bagian integral dari
keseluruhan aspek psikis manusia. Sebagai fungsi psikis, persaan dan emosi
mempunyai pengaruh terhadap fungsi psikis lainya seperti pengamatan, tanggapan,
pemikiran dan kemauan.
2.3.1
Pengertian
Perasaan dan Emosi
Perasaaan sering kita alami, namun agak susah untuk
mendefinisikanya. Max Scheber (dalam Efendi, 1990: 79) membagi perasaan kedalam
empat kelompok, yaitu:
a.
Perasaan
pengindraan, misalnya rasa panas, dingin dan sebagainya.
b.
Perasaan vital,
misalnya rasa lelah, lesu, segar dan sebaginya.
c.
Persaan psikis,
misalnya rasa senang, sedih dan sebagainya.
d.
Persaan pribadi,
misalnya perasaan terasing, suka, suka dan sebaginya.
Emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan terangsang
dari organisme, mencakup pengalaman yang disadari yang bersifat mendalam dan
memungkinkan terjadinya perubahan perilaku (Chaplin, 1989:163).
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
perasaan erat kaitanya dengan emosi. Perasaan merupakan bagian dari emosi, dan
tidak terdapat perbedaan yang tegas antara perasaan dan emosi. Dalam beberapa
hal persaan mempunyai arti yang sama dengan emosi namun adakalanya tidak
demikian.
Yang jelas emosi bersifat intens dari perasaan,
lebih ekpresif, ada kecendurungan untuk meletus, dan emosi dapat timbul dari
kombinasi dari beberapa perasaan, sehingga emosi mengandung arti yang lebih
kompleks dari perasaan.
2.3.2
Hubungan
antara Emosi dan Tingkah Laku
Terdapat
beberapa teori yang membahas hubungan antara emosi dengan tingkah laku, yaitu:
a.
Teori Sentral
Menurut teori ini, gejala kejasmanian timbul sebagai
akibat dari emosi yang dialami oleh individu. Jadi individu mengalami emosi
lebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam jasmaninya.
b.
Teori Perifir
Perubahan psikologis yang terjadi dalam emosi
disebabkan perubahan fisiologis. Perubahan fisiologis ini menyebabkan perubahan
psikologis yang disebut emosi. Menurut teori ini, orang susah karena menangis,
orang senang karena karena tertawa bukan tertawa karena senang.
c.
Teori
Kedaruratan Emosi
Teori ini menyatakan bahwa emosi merupakan reaksi
yang diberikan oleh organisme dalam situasi emergensi atau darurat.
2.3.3
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Beberapa kondisi, baik baik kondisi yang bersifat
internal maupun yang bersifat eksternal, dapat menyebabkan dominanya dan
menguatnya emosi seseorang. Kondisi tersebut adalah:
a.
Kondisi yang
ikut mempengaruhi emosi dominan
·
Kondisi
kesehatan
·
Suasana rumah
·
Cara mendidik
anak
·
Hubungan dengan
anggota keluarga
·
Hubungan dengan
teman sebaya
·
Perlindungan
yang berlebihan
·
Aspirasi orang
tua
·
Bimbingan
b.
Kondisi yang
menunjang timbulnya emosionalitas yang menguat
·
Kondisi fisik
·
Kondisi
psikologis
·
Kondisi
lingkungan
2.3.4
Perbedaan
Individual dalam Perkembangan Emosi
Individu mengalami proses perkembangan emosi selama
hidupnya, mulai dari bayi sampai dengan dewasa. Bahkan pada saat masih dalam
kandungan, kondisi emosional ibu dapat mempengaruhi perkembangan janin. Banyak
faktor yangmempengaruhi perkembangan emosi individu. Kepribadian, lingkungan,
pengalaman, kebudayaan, merupakan variabel yang sangat berperan dalam
perkembangan emosi individu.
Disamping itu, perbedaan individu dalam perasaan dan
emosi dapat dipengaruhi oleh adanya perbedaan kondisi atau keadaan individu
yang bersangkutan, antara lain:
a.
Kondisi dasar
individu. Hal ini erat kaitanya dengan struktur pribadi individu, misalnya ada
yang mudah marah, sebaliknya ada yang sulit marah.
b.
Kondisi psikis
individu pada suatu waktu. Misalnya pada saat kalut, seseorang mudah
tersinggung dibandingkan dalam keadaan normal.
c.
Kondisi jasmani
individu. Pada saat sedang sakit biasanya lebih mudah marah.[4]
2.4
Perkembangan
Moral
Suatu
masyarakat tidak dapat berfungsi apabila tidak ada aturan mengenai cara
anggotanya berkomunikasi dan hidup bersama dengan orang lain. Aturan yang ada
ini dapat berubah sewaktu-waktu, perubahan ini terjadi sebagai akibat dari
keinginan masyarakat sendiri. Perkembangan kognitif dan personal anak-anak
adalah berbeda dengan perkembangan orang dewasa dan mereka juga berbeda dengan
perkembangan moralnya.[5]
1.
Pandangan
Piaget
Piaget melakukan percobaan dengan menanyakan kepada
anak-anak suatu pertanyaan yaitu berkisar tentang isu-isu pencurian,
kebohongan, hukuman dan keadilan. Dengan memahami nalar dari anak-anak yang
sedang bermain, maka seseorang dapat memahami perkembangan moral mereka. Dari
percobaan Piaget tersebut, dapat ditangkap bahwa anak-anak sebelum berusia 6
tahun, mereka bermain tanpa aturan. Dan anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun
sudah mengetahui adanya aturan, tetapi mereka tidak secara konsisten
mengikutinya.
Anak-anak mengetahui adanya aturan apabila aturan
tersebut disampaikan oleh orang-orang yang berkuasa dan aturan itu dianggap
tidak berubah. Menurut Piaget, perkembangan moral dimulai ketika anak berusia 6
tahun.
Piaget menamakan tahap pertama perkembangan moral
adalah moralitas Heteromous, disebut juga dengan tahap realisme moral atau
moralitas keterpaksaan. Selama periode ini anak-anak dihadapkan pada perintah
orang dewasa mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pelanggaran
moral menghasilkan hukuman secara otomatis.
Tahap kedua dinamakan moralitas Otonomous. Moral ini
muncul karena dunia anak semakin meluas. Karena anak secara terus menerus
berinteraksi dan bekerjasama dengan anak lainny, gagasan anak mengenai aturan
dan moralitas mulai berubah. Hukuman bagi pelanggar tidak lagi bersifat
otomatis, tetapi melalui pertimbangan-pertimbangan tujuan pelanggar aturan
tersebut serta situasi dan kondisi yang ada.
Tahap-tahapnya adalah sebagai
berikut:
Heteromous
|
Otonomous
|
Penalaran
moral disasarkan pada hubungan keterpaksaan.
|
Penalaran
moral didasarkan pada hubungan kerjasama, pengakuan bersama antar kesamaan
individu, dan setiap individu dianggap sama.
|
Penalaran
moral didasarkan pada realisme moral. Aturan dipandang sebagai sesuatu yang
kaku, berasal dari luar dirinya dan dipegang oleh orang yang memiliki
kekuasaan, tidak terbuka untuk bernegosiasi dan kebenaran itu berkaitan
dengan ketaatan pada orang dewasa dan aturan.
|
Penalaran
moral direfleksikan pada sikap moral yang rasional. Aturan dipandang sebagai
produk dari kesepakatan bersama, terbuka untuk bernegosiasi ulang,
dilegitimasi oleh setiap orang dan kebenaran itu berkaitan dengan kegiatan
yang sesuai dengan persyaratan kerjasama dan saling menghormati.
|
Kejahatan
dinilai dari konsekuensi atas tindakan, keadilan disamakan dengan isi
keputusan orang dewasa, kesewenang-wenangan dan hukuman dipandang sebagai
keadilan. Hukuman dipandang sebagai konsekuensi dari pertahanan.
|
Kejahatan
dipandang sebagai perilaku yang bersifat relatif, keadilan diperlakukan
secara sama, atau memperhitungkan kebutuhan individu dan kewajaran hukuman
dimaknai melalui kelayakan terhadap pertahanan.
|
2.
Pandangan Kolhberg
Anak-anak yang berusia antara 10-12 tahun sudah
mampu menggunakan dan mengikuti aturan secara sadar. Pada usia ini setiap anak
yang sedang bermain akan mengikuti aturan yang sama.
Kolhberg menyusun teori perkembangan moral terdiri
atas tiga level utama dengan dua tahap pada setiap level. Konsep penting
memahami teori Kolhberg adalah internalisasi, artinya perubahan perkembangan
dari perilaku yang dikontrol secara eksternal ke perilaku yang dikontrol secara
internal.
Preconventional
reasoning (Penalaran Prakonvensional), merupakan level
terbawah dari perkembangan moral dalam teori Kohlberg. Anak tidak menunjukkan
internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan
ganjaran eksternal.
Conventional
reasoning (Penalaran Konvensional) adalah tahap kedua dari
teori Kolhberg. Pada tahap ini internalisasi masih setengah-setengah. Anak
patuh secara internal pada standar tertentu, tetapi standar itu pada dasarnya
ditetapkan oleh orang lain, seperti orang tua atau aturan sosial.
Pascaconventional
reasoning (Penalaran pasca konvensional), level tertinggi,
moralitas sudah sepenuhnya diinternalisasi dan tidak didasarkan pada standar
eksternal. Individu mengetahui aturan-aturan moral alternative, mengeksploitasi
opsi dan kemudian memutuskan sendiri kode moral apa yang terbaik untuk dirinya.
Dalam perkembangan moral, remaja hendaknya sudah
mencapai pada moralitas pasca konvensional, artinya remaja harus sudah mampu
menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama,
remaja harus memiliki kelenturan dalam keyakinan moral sehingga memungkinkan
adanya perbaikan dan perubahan standar moral keseluruhan. Tahap ke dua, remaja
menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal yang internalisasi. Sehingga
remaja sudah lebih mengembangkan suara hati, yaitu kekuatan ke dalam yang tidak
memerlukan pengendalian lahiriah. Seorang remaja dikatakan mempunyai moral yang
matang, selalu ditandai dengan adanya rasa bersalah dan malu dalam
mengendalikan perilaku. Tetapi hanya sedikit remaja yang mampu mencapai perkembangan
moral yang demikian, sehingga remaja belum dapat disebut secara tepat telah
mencapai moral yang matang.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan
personal dan sosial menurut teori Erikson mengemukakan delapan tahap
perkembangan manusia yang akan dilalui sepanjang rentang hidupnya yaitu
kepercayaan versus ketidakpercayaaan, otonomi versus malu dan ragu, inisiatif
versus rasa bersalah, upaya versus inferioritas, identitas versus kebingungan,
intimasi versus isolasi, generativitas versus stagnasi, integritas versus putus
asa.
Dalam
perkembangan sosial pada anak, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
diantaranya adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. keluarga memiliki fungsi
yang sangat penting dalam perkembangan sosial pada anak, Cara pendidikan anak
yang digunakan oleh orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
anak, terutama pada awal-awal kehidupan.
Dalam
perkembangan emosi dan tingkah laku, terdapat tiga teori yang menyatakan
hubungan diantara keduanya, yaitu teori sentral, teori perifir dan teori
kedaruratan emosi.
Perkembangan
moral yang terjadi pada anak berbeda dengan orang dewasa, dalam pandangan
Pieget, ia membagi dua tahap perkembangan moral yaitu heteromous (anak-anak)
dan otonomous (orang dewasa), berbeda dengan itu Lawrence Kohlberg membagi
tahap perkembangan mora kedalam tiga tahap yaitu prakonvesional, konvensional
dan pascakonvesional.
3.2
Saran
Dengan adanya makalah ini penulis berharap supaya pembaca dapat mengetahui,
menambah wawasan tentang perkembangan psikososial dan moral. Serta perlu adanya
sumber referensi lain supaya pengetahuan semakin luas. Dan semoga perkembangan
psikososial dan moral yang ada pada anak didik dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifai,
Achmad dan Tri Anni, Catharina. 2009. Psikologi Pendidikan.
Semarang: Unnes Press.
Ngalim,
Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan.
Bandung : Rosadakarya.
Muhibbin.
2008. Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru. Badung : Rosadakarya.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005.“Landasan Psikologi
Pendidikan”. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Uno, Hamzah B. 2006. “Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran”. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar